Penyelenggara Korupsi di Indonesia

Jumat, 25 Maret 2011

Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme


Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme

Bagian Pertama
  1. Latar Belakang
Krisis ekonomi dan politik yang menghantam mulai pertengahan tahun 1997, mengharuskan bangsa Indonesia menelaah kembali konsep-konsep, metode-metode dan praktek-praktek penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara yang diterapkan selama tiga dekade terakhir yang diyakini berperan besar dalam menyumbang terjadinya krisis tersebut. Pemerintahan yang sentralistis dan birokrasi yang patrimonialistik, penyelenggaraan negara yang terlepas dari kontrol sosial dan kontrol politik suprastruktur dan infrastruktur politik, serta ideologi pembangunanisme yang tidak berbasis pada ekonomi kerakyatan, berimplikasi luas pada praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di dalam tubuh pemerintahan Indonesia di bawah rezim Orde Baru.
Orientasi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktek KKN sebenarnya telah menjadi diskursus sejak awal berdirinya Orde Baru. Berbagai instrumen hukum dan lembaga telah dibentuk dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dikeluarkannya UU No. 3 tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, dan Keppres No. 33 tahun 1986 tentang Kewajiban Pelaporan Pajak Pribadi bagi Pejabat Negara, PNS, ABRI, BUMD dan BUMN menunjukkan hal tersebut.
Namun ternyata kemudian terlihat, upaya-upaya tersebut hanya berhenti sampai tataran normatif dan tidak berlanjut ke tataran yang kongkret dan operasional. Ekonomi biaya tinggi dan krisis kepercayaan kepada pemerintah merupakan bukti dari tidak pernah adanya komitmen dan tindakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah Orde Baru untuk mencapai tujuan tersebut.

Tuntutan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN kembali marak setelah terjadinya krisis ekonomi mulai pertengahan tahun 1997. Sidang Umum MPR pada bulan Maret 1998 ramai membahas tentang perlu-tidaknya seseorang melaporkan dan mengumumkan harta kekayaan yang dimiliki sebelum dan sesudah menduduki suatu jabatan negara. Perdebatan sidang umum tersebut terjawab pada Sidang Kabinet Pembangunan VII tanggal 17 Maret 1998 yang memutuskan agar pejabat tinggi negara dan pejabat negara lainnya melaporkan seluruh harta kekayaan pribadi, termasuk harta istri maupun suami, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Laporan ini bersifat tertutup hanya kepada Presiden dan tidak dilaporkan kepada masyarakat dengan alasan etika. Pelaksanaan hasil sidang kabinet tersebut -sekali lagi- tidak pernah terealisir.
Kondisi struktural dan demonstrasi mahasiswa memaksa Soeharto turun dari kursi kepresidenan pada bulan Mei 1998 dan kemudian ia digantikan oleh Wakil Presiden Habibie yang langsung menyusun Kabinet Reformasi Pembangunan. Jatuhnya Soeharto sebagai pimpinan Orde Baru dan lemahnya legitimasi politik Kabinet Reformasi menjadikan tuntutan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN tidak dapat dibendung lagi oleh pemerintah. Perdebatan mengenai upaya menciptakan clean govermance di Indonesia terulang kembali pada Sidang Istimewa MPR yang diadakan pada bulan November 1998. Perdebatan yang alot dan ‘berdarah’ tersebut akhirnya menghasilkan Tap MPR-RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Materi utama dari Tap MPR tersebut adalah mengenai; keharusan seorang pejabat negara untuk mengumumkan harta kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat; perintah kepada Kepala Negara RI untuk membentuk suatu lembaga dalam rangka melaksanakan pemeriksaan kekayaan pejabat tersebut; dan tercantumnya nama mantan Presiden Soeharto dalam upaya pemberantasan KKN oleh pemerintah.
Berdasarkan arahan dari Tap MPR-RI No. XI/MPR/1998, pemerintah membentuk RUU tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. RUU ini diharapkan dapat dijadikan landasan utama dari pemerintah yang sekarang dan di masa depan dalam rangka menciptakan penyelenggaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersih, berwibawa, dan profesional serta mengabdi pada kepentingan masyarakat luas.
  1. Tujuan
Upaya pemerintah untuk membentuk suatu undang-undang yang akan memberikan landasan kepada penyelenggara negara di masa mendatang untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, perlu ditanggapi secara positif dan serius oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia. Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) sebagai sebuah lembaga yang memberikan perhatian besar terhadap upaya-upaya menuju terciptanya clean and good governance di Indonesia, memiliki harapan dapat menyumbangkan pemikiran dalam rangka pembentukan suatu undang-undang yang mengatur tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan transparan.
Seiring dengan diajukannnya RUU tentang Pemerintahan yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ke DPR dan dengan dilandasi komitmen seperti teruraikan di atas, tujuan kajian ini adalah:
  1.  
    1. mengadakan analisis akademis terhadap RUU tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
    2. mengidentifikasi permasalahan dalam RUU tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta memberikan komentar terhadap permasalahan tersebut; dan
    3. memberikan masukan terhadap RUU tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
  1. Subyek sasaran pengaturan dalam RUU adalah penyelenggara negara dan masyarakat.
1.1. Penyelenggara negara; dalam RUU didefinisikan sebagai
Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif
atau yudikatif (Pasal 1 butir 1). Peyelenggara Negara dirinci lebih lanjut dalam Pasal 2 yang menyebutkan:
  1.  
    1. pejabat negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
    2. pejabat negara pada Lembaga Tinggi Negara;
    3. menteri;
    4. gubernur; dan
    5. pejabat negara yang lain yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
1.2. Masyarakat; pengaturan mengenai masyarakat sebagai subyek sasaran pengaturan terdapat dalam Bab V Pasal 8-9 tentang Peran Serta Masyarakat. Materi pasal-pasal tersebut mengatur mengenai landasan peran serta masyarakat, hubungan penyelenggara negara dan masyarakat serta bentuk-bentuk peran serta masyarakat.
  1. Obyek pengaturan dari RUU adalah mengenai hak dan kewajiban penyelenggara negara (Bab III), hubungan antar penyelenggara negara (Bab IV) dan peran serta masyarakat (Bab V).
Beberapa ketentuan pokok yang merupakan materi substansi RUU adalah mengenai kewajiban setiap penyelenggara negara yang disebut dalam Pasal 5, yaitu :
  1.  
    1. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat;
    2. mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat;
    3. melaporkan harta kekayaan sebelum dan setelah menjabat;
    4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Ketetentuan-ketentuan tersebut merupakan ‘materi utama’ RUU, karena ketentuan-ketentuan berikutnya dari RUU berkaitan langsung dengan mekanisme pelaksanaan dan sanksi dari ‘ketentuan-ketentuan utama’ tersebut.
  1. Institusi Pelaksana dari RUU adalah: Komisi Tetap Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut dengan Komisi Tetap Pemeriksa (Bab IV).
Komisi ini merupakan lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku Kepala Negara. Komisi terdiri dari 20 (dua puluh) orang anggota yang terbagi dalam 4 sub komisi yaitu:
  1.  
    1. Sub Komisi Eksekuitf;
    2. Sub Komisi Legislatif;
    3. Sub Komisi Yudikatif; dan
    4. Sub Komisi BUMN/BUMD.
Untuk membantu Komisi Tetap Pemeriksa, di daerah-daerah dibentuk Inspektur wilayah yang diangkat oleh menteri pengawasan pembangunan dan pendayagunaan aparatur negara.
Tugas dan wewenang pokok Komisi adalah melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan penyelenggara negara.
  1. Ketentuan sanksi dalam RUU ditujukan hanya terhadap pelanggaran atas Pasal 5 tentang kewajiban penyelenggara negara.
Sebagian besar sanksi berupa sanksi administratif yang didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada, dalam hal ini ketentuan tentang kepegawaian. Sedangkan sanksi pidana atau perdata yang diberikan, didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran tersebut, dalam hal ini, KUHP, KUHAP dan UU tentang Tindak Pidana Korupsi.
II. Identifikasi Permasalahan dan Komentar Umum
  1. Identifikasi Permasalahan
Bagian ini akan mencoba mengidentifikasikan permasalahan-permasalahan dari RUU, baik permasalahan yang menyangkut materi substansi dari RUU maupun permasalahan kaedah-kaedah normatif dari penyusunan suatu undang-undang.
  1.  
    1. Tentang Subyek Sasaran Pengaturan RUU.
Subyek sasaran pengaturan dalam RUU ini adalah:
1.1. Penyelenggara negara; yang pengertiannya ‘hanya’ sebatas pejabat-pejabat negara, khususnya lembaga-lembaga negara yang berada di tingkat pusat. Sedangkan penyelenggara negara dalam artian aparatur pemerintah atau birokrasi negara pada semua jenjang jabatan baik di tingkat pusat maupun daerah tidak termasuk dalam definisi penyelenggara negara dalam RUU.
Permasalahan yang timbul dari sempitnya definisi tentang penyelenggara negara dalam RUU ini adalah:
  •  
    • Istilah penyelenggara negara yang selama ini dipakai baik secara akademis maupun secara umum, mencakup pengertian tentang keseluruhan aparatur pemerintahan dan kenegaraan, baik di pusat maupun di daerah, yang bertugas menyelenggarakan kehidupan pemerintahan dan kenegaraan, mendapatkan gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah,sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    • Pembatasan ruang lingkup pengertian penyelenggara negara dengan menyempitkannya menjadi pejabat negara akan menghilangkan essensi harapan dan tujuan masyarakat atas keberadaan RUU.
    • Dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN (clean governance) sebagaimana dinyatakan dalam konsideran RUU, maka penyempitan definisi tentang penyelenggara negara menjadi sebatas pejabat negara akan mereduksi permasalahan, ruang lingkup dan sasaran dari usaha penciptaan penyelenggaraan negara yang bersih (clean governance) dan baik (good governance). Dengan RUU seolah-olah penciptaan penyelenggara negara yang bersih dapat diselesaikan cukup dengan ‘membersihkan’ pejabat-pejabat negara saja.
1.2. masyarakat; pengaturan mengenai peran serta masyarakat dalam RUU masih terkesan diberikan setengah hati, tercermin dari:
  •  
    • pengertian dan landasan hukum peran serta masyarakat dartikan sebagai wujud hak dan tanggung jawab masyarakat. Selayaknya, pengertian dan landasan hukum bagi peran serta masyarakat adalah pemberian kesempatan atau peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat dalam mendukung tujuan penciptaan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN.
<
  •  
    • pengaturan peran serta dibatasi oleh prinsip hubungan antara penyelenggara negara dan masyarakat yang harus sesuai dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara. Padahal asas-asas tersebut hanya dapat mengikat penyelenggara negara an sich dan tidak untuk masyarakat;
    • bentuk-bentuk peran serta masyarakat dibatasi pada hak-hak yang definitif, dan pada beberapa ketentuan masih di atributi dengan aturan yang ‘defensif’, seperti; "…secara bertanggung jawab" dan "…menaati norma agama dan norma sosial lainnya". Hal ini mencerminkan ketakutan yang berlebihan terhadap perilaku masyarakat dalam menjalankan peranannya.

  1. Tentang Obyek Pengaturan
Obyek pengaturan dari RUU adalah mencakup tentang:
  1. hak dan kewajiban dari penyelenggara negara;
Dapat dinyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab III RUU ini adalah ‘materi utama’ dalam RUU. Terutama ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kekayaan pejabat negara.
Ketentuan yang seharusnya diatur dalam RUU ini adalah tentang kewajiban dan larangan dari penyelenggara negara bukan ketentuan-ketentuan mengenai hak penyelenggara negara. Ketentuan-ketentuan mengenai hak penyelenggara negara dalam RUU menjadi tidak relevan apabila dikaitkan dengan maksud dan tujuan dari RUU. Hak-hak penyelenggara negara, dalam hal ini pejabat negara, akan menjadi relevan apabila diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang ruang lingkupnya berisi ketentuan-ketentuan mengenai pejabat negara.
  1. hubungan antarpenyelenggara negara;
Pengaturan tentang hubungan antarpenyelenggara negara dalam RUU ini terkesan dipaksakan keberadaannya. Pengaturan mengenai hubungan-hubungan aparatur penyelenggara, hubungan-hubungan antara lembaga-lembaga negara dan lain sebagainya yang menyangkut pola-pola pemerintahan dan adminsitrasi negara, tidak ada kaitannya dengan upaya menciptakan penyelanggaran negara yang bersih dan bebas KKN. Pengaturan tentang hal ini lebih cocok dicantumkan dalam suatu peraturan perundang-undangan atau kode etik tentang tata pemerintahan yang daya ikatnya lebih bersifat internal.
  1. peran serta masyarakat;
Ketentuan-ketentuan dalam Bab tentang peran serta masyarakat ini, lebih mengatur tentang hak dan kewajiban masyarakat daripada peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara adalah suatu bentuk kontrol sosial. Sehingga pengaturannya dalam perundang-undangan sebaiknya adalah pemberian peluang yang luas dan rangsangan untuk berperan aktif dalam menjalankan fungsi kontrol sosial tersebut dan bukan dengan cara mendiktekan hak dan kewajiban yang malah dapat membatasi ruang gerak masyarakat dalam melakukan peran sertanya dalam menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
  1. Institusi Pelaksana
Institusi yang menjadi pelaksana utama ketentuan RUU adalah Komisi Tetap Pemeriksa yang memiliki tugas dan wewenang pokok memeriksa kekayaan penyelenggara negara sebelum dan sesudah menjabat. Permasalahan mendasar dari lembaga ini, adalah bahwa secara instutisional komisi ini mirip dengan institusi di beberapa negara yang ruang lingkup tugas dan wewenangnya adalah mencegah dan menanggulangi korupsi di pada suatu negara. Hanya bedanya tugas dan wewenang Komisi Tetap Pemeriksa lebih sempit yaitu sekedar melakukan pemeriksaan dan penyelidikan terhadap kekayaan penyelenggara negara. Padahal tugas yang diembannya sangat berat yaitu mencegah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dalam penyelenggaraan negara.
Tugas komisi yang seperti itu akan menjadi tumpang tindih dengan atau bahkan tersingkir oleh Badan Anti Korupsi dan Badan Pencatat Transaksi Keuangan yang kebutuhan akan keberadaannya jauh lebih mendesak pada saat ini.
  1. Tentang Ketentuan Sanksi
Ketentuan sanksi dalam sebuah undang-undang harus dirumuskan dengan jelas, tegas dan cermat, karena menyangkut kepastian hukum bagi seseorang. RUU tidak mengatur atau membuat sendiri sanksi atas pelanggaran ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam pasal-pasalnya. RUU hanya mendasarkan pada peraturan perundang-undangan sejenis yang ada dan mengatur hal tersebut. Hal ini secara sosiologis menunjukkan tidak adanya keseriusan dan kesiapan RUU dalam merespon harapan dan tuntutan masyarakat dan secara yuridis cenderung terjadi tumpang tindih obyek pengaturan dengan peraturan perundang-undangan sejenis yang telah ada, yaitu peraturan perundang-undangan tentang kepegawaian dan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidan korupsi.
  1. Tentang Ketidakjelasan Definisi dan Konsep-konsep
Dalam RUU banyak terdapat ketidakjelasan definisi dan konsep yang dipergunakan. Beberapa di antaranya yang pokok adalah:
  1. definisi kolusi; walaupun tidak secara tegas disebutkan, pengertian yang lebih lengkap dan jelas mengenai kolusi justru terdapat Pasal 3 ayat (1) butir f Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
  2. Definisi kekayaan penyelenggara negara; dalam ketentuan RUU tidak jelas apa saja yang dimaksud dengan kekayaan penyelenggara negara. Apakah termasuk kekayaan keluarga secara keseluruhan termasuk anak dan sanak saudara lannya, atau hanya kekayaan penyelenggara pribadi. Definisi tentang kekayaan pejabat negara sangat penting diuraikan dengan jelas, karena materi pokok pengaturan RUU adalah mengenai kekayaan penyelenggara negara.
  1. Tentang Tumpang Tindihnya Materi RUU dengan Materi Perundang-undangan Lain
Secara jelas dapat terlihat bahwa ketentuan ini banyak bertumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan kepegawaian dan undang-undang tentang tindak pidana korupsi.
  1. Tentang Kaedah-kaedah Normatif
  1. Norma hukum dalam peraturan perundang-undangan
Dalam RUU ini banyak terdapat ketentuan-ketentuan yang berbentuk norma hukum tunggal. Dimaksud dengan norma hukum tunggal adalah suatu norma hukum yang hanya terdiri dari satu norma yang bersifat das sollen. Norma hukum tunggal terdapat terutama dalam peraturan perundang-undangan di bidang hukum tata negara. Norma hukum dalam ketentuan-ketentuan suatu peraturan perundang-undangan terutama di bidang perdata dan pidana dan juga administrasi negara dirumuskan dalam norma hukum yang berpasangan, yaitu suatu norma hukum yang terdiri dari dua norma, di mana norma yang pertama -sebagai satu kesatuan atau terpisah dilekati oleh norma kedua yang berisi akibat tidak dipenuhinya ketentuan dalam norma yang pertama. Ketentuan yang bermasalah tersebut di antaranya adalah:
  • asas-asas penyelenggara negara (Pasal 3)
  • ketentuan dalam (Pasal 6)
  • ketentuan dalam (Pasal 8)
  1. Kejelasan maksud dari norma hukum
RUU ini banyak memuat ketentuan yang tidak jelas maksud dan tujuan pengaturannya, misalnya:
  • ketentuan dalam Pasal 6
  • ketentuan dalam Pasal 7
B. Komentar Umum
Berdasarkan identifikasi permasalahan yang telah diuraikan di atas, dan dikaitkan dengan hakekat dan tujuan dari dibentuknya RUU, maka dalam bagian ini akan dikemukakan komentar secara umum terhadap permasalahan-permasalahan dari RUU.
  1. Ditinjau dari ilmu perundang-undangan, materi dari pasal-pasal RUU ini masih banyak mengandung kekurangan mendasar, seperti; tercantumnya asas-asas dalam batang tubuh RUU; adanya beberapa pasal yang tidak jelas maksud dan tujuan dari materi muatannya; dan ketentuan sanksi yang tidak jelas.
  2. Pengaturan mengenai penyelenggara negara dalam RUU ini sebagian memiliki kemiripan materi substansi dengan peratuan perundang-undangan lain yaitu; UU No. 3/1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 11/1980 tentang Tindak Pidana Suap, UU No. 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, PP No. 30/1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, dan Keppres No. 33/1986 tentang Pelaporan Pajak Pribadi Bagi Pejabat Negara, PNS, ABRI, BUMD, dan BUMN.
Hal tersebut mencerminkan tidak adanya strategi yang menyeluruh dan terpadu dalam rangka upaya pembentukan perangkat hukum tentang clean and good governance. Sehingga dikhawatirkan terjadi pengaturan yang tumpang tindih terhadap obyek pengaturan yang sama, yang pada gilirannya akan membingungkan aparat pelaksana dan penegak hukum dalam menerapkan kepastian hukum.

Pengantar Dalam Hubungan Internasional


1. 2.   Pengertian / Batasan dan istilah
Hukum Internasional yang dimaksud disini adalah Hukum Internasional Publik (International Publik Law).

1.2.a. Istilah HI
-
   Indonesia
          :  Hk. Bangsa-bangsa, Hk. Antar Bangsa, Hk. Antar   
                                          Negara.
-   Inggris               :  International Law, common Law, Law of mankind, Law
                                          of Nation, Transnational Law (Inggris).
-  Perancis      :  Droit de gens
-  Belanda      :  Voelkenrecht.
-  Jerman       :  Woelkrrecht.
-  Romawi     :  Ius Gentium, Ius Inter Gentes.

1.2.b. Asal-usul istilah HI
Prof. Dr. Mochtar Kusumaadmadja, mangatakan bahwa aneka ragam istilah Hi itu bermula dari. Hk. Romawi, yang dikenal denga ius gentium, yang berarti :
-   Hukum antar bangsa-bangsa Romawi.
-   Orang Romawi dan bukan orang Romawi
-   Orang bukan Romawi satu sama lainnya.
Baru kemudian, orang membedakan antara hubungan kesatuan-kesatuan publik (kerajaan dan republik) dengan hubungan antar individu, dengan ius inter gentes.
Dari istilah ius inter gentes kemudian lahirlah istilah Hk. Bangsa-bangsa,
Hk. Antar Bangsa, Hk. Antar  Negara. Kemudian lahirlah istilah HukumI (publik) yang mejadi cabang ilmu Hukum yang berdiri sendiri.

1.2.b. Persamaan dan perbedaan istilah HI dengan Hk. Bangsa-bangsa, Hk. Antar Bangsa, Hk. Antar  Negara.

1.1.b. (1)  Persamaan
-   Semuannya bersumber pada hukum Romawi.
-   Persamaan landasan sosiologis : Masyarakat Internasional, Masyarakat bangsa-bangsa.
-   Persamaan subyek dan sumbernya   :  negara.

1.1.b (2)  Perbedaan.
-   perbedaan istilah dan bahasa yang digunakan oleh setiap negara.
-   Perbedaan istilah menunjukakan tingkat perkembangannya :
-   Ius Gentium – Ius Inter Gentes --  Hk. Bangsa-bangsa,--Hk. Antar Bangsa -- Hk. Antar Negara.— HI.
-      Hukum bangsa –bangsa   : menunjukan pada kebiasaan dan aturan (hukum) yang berlaku dalam hubungan raja-raja pada zaman dahulu.
-      Hukum Antar bangsa    :  menunjukkan     kompleksitas kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan antar anggota masayarkat bangsa-bangsa atau negara yang kita kenal sejak meunculnya negara dalam bentuknya yang modern (nation satte).
-      HI         : menunjukan pada kaidah-kaidah dan asas-asas hukum, selain mengatur hubungan antara negara, menga

1.1..c.(3).   Perbedaan terletak pada skope hubungan yang diatur;
Hk. Bangsa-bangsa   : mengatue hubungan antar bangsa
Hk. Antar Negara      : mengatur hubungan anatar negara dengan negara (bangsa dalam bentuk negara)
Hk Internasional      :  mengatur  yang melintasi batas negara antara negara dengan negara, antara subyek hokum bukan negara dengan negara, anatar subyek hokum bukan negara satu dengan yang lain.

5.   Sifat perkembangan / pertumbuhan HI dibandingkan istilah yang lain menunjukakan suatu perubahan yang radikal ke arah pembentukkan suatu hokum Internasional yang benar-benar universal.

Kenapa istilah Hukum Internasional yang kemudian di pakai termasuk dalam perkuliahan ini ?
Alasan :
a.   Istilah HI paling mendekatai kenyataan dengan sifat-sifat hubungannya dan masalah-malash yang menjadi obyek bidang hokum ini, yang dewasa ini tidak hanya terbatas pada hubungan antar bangsa atau antar negara saja, seperti yang dilaksanakan oleh istilah Hk. Anatar bangsa dan hk. Anatar negara.
b.   Istilah HI dalam penggunaannya tidak menimbulkan keberatan di kalanagan para sarjana, karena telah lazim dipakai orang untuk segala peristiwa yang melintasi batas-batas negara.
c.   Penggunaan istilah HI secara tidak langsung menunjukkan suatu taraf perkembangan tertentu dalam bidang HI (sebagai perkembangan mutakhir).

1.2.   Pengertian dan batasan HI
1.2.1.  Pengertian menurut para sarjana

a.   Pandangan klasik   : “system Hk. yang mengatur  hubungan negara-negara.”
b.   Prof. Hyde       :  “sekumpulan hukum, yang sebagaian besar terdiri dari asas-asas dan peraturan-peraturan tingkah laku yang mengikat negara-negara, karena itu biasanya ditaati dalam hubungan negara-negara satu sama lian.”
c.   J.L. Brierly       :  “ himpunan kaidah-kaidah dan asas-asas tindakan yang mengikat bagi negara-negara beradab dalam hubungan mereka satu sama liannya.”
d.   Oppenheim      : “International law is the name of the body of customary and treaty rules which are of considered legally binding by states in their intercource which each other”.
e.   Max Rosense      :”International law is a strict term of art, connoting that system of law whose primary function it is to regulate the relation of stateswhic one another “.
e. G. Schwarzenberger   : “ International law is the body of legal rules binding upon sovereign state and such other en tities as have been granted International personality”.
f.  Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH.,L.L.M.    : “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas- batas negara antara:
(1)   NEGARA dengan NEGARA;
(2)   NEGARA dengan SUBYEK HUKUM LAIN BUKAN NEGARA;
(3)   SUBYEK HUKUM BUKAN NEGARA satu dengan YANG LAIN.






1.2.2.  Pengertian HI Publik dan HI Perdata

HI Publik (HI)      : “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas- batas negara yang bukan bersifat perdata”.
H Perdata Internasional   : “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas- batas negara yang berfat perdata”

1.2.2.a.  Persamaan
Keduanya mengatur hubungan-hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara.

 1.2.2.b.  Perbedaan
•   Perbedaan keduanya terletak pada : sifat hubungna/ persoalan dan obyek yang diaturnya.
•   Cara membedakan berdasarkan sifat dan obyeknya adalah tepat, dari pada membedakan berdasarkan pelaku-pelaku (subyeknya), yaitu dengan mengatakan HI Publik mengatur hubungan atara negara, sedangkan H Perdata Internasional mengatur hubungan orang-perorang.
WHY ?
Alasan :
a.   Negara dapat saja menjadi sunyek Hperdata Internasional, dan perorangan dapat saja menjadi subyek HI.
b.   Batasan yang bersifat negatif lebih tepat karena ukuran publik memang sering kali sukar dicari bats-batasnya.
c.   Dewasa ini persoalan Internasional tidak semuannya merupakan persoalan antar negara; persoalan perseoranga dapat dikatakan persoalan negara (pelanggaran pidana  Konvensi Jenewa 1949).
d.   Persoalan yang menyangkut “perseorangan” yang demikian tidak dapat dimasukkan dalam bidang Tata Usaha Negara atau Pidana Internasional, dan bukan merupakan persoalan perdata Internasional.
1.2.3.   Perwujudan Hukum Internasional


Perbedaan   HI UMUM   HI REGIONAL   HI KHUSUS
Pengertian   : “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas- batas negara antara:
(4)   NEGARA dengan 
         NEGARA;
(5)   NEGARA dengan SUBYEK HUKUM LAIN BUKAN NEGARA;
(6)   SUBYEK HUKUM BUKAN NEGARA satu dengan YANG LAIN.
   “ HI yang terbatas lingkungan berlakunnya atau HI yang berlaku hanya untuk region (bagian dunia tertentu) “.
   “HI yang hanya berlaku bagi negara-negara tertentu, yang tidak terbatas pada suatu bagian dunia (region tertentu)
Sifat / Persamaan HI Regional dan HI Khusus   HI Regional dan HI Khusus merupakan bagian dari HI Umum
Keduanya dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan
Keduanya memberikan sumbanagn berharga bagi perkembangan HI umum
Keduanya dapat menyimpan HI Umum tapi tak boleg bertentangan
Keduanya merupakan pencerminan dari tingkat perkembangan bagian masyarakat yang berbeda.    Hubungan HI Regional dengan HI Umum boleh menyimpang tetapi tidak boleh bertentangan.


   Wilayah berlakunnya HI khusus lebih luas dari wilayah berlakunnya HI Regional
Contoh   - United Nation Organitation   1.   Konsep Landas Kontinen (Continental Shelf)
2.   Konep perlindungan Kekayaan Hayati Laut (Conservation of the living resources of the sea),
3.   Hukum International Eropa
4.   Hukum International Amerika Latin.   Konvensi Eropa mengenai Hak Azasi Manusia.
Perbedaan      -   Tumbuh melalui Hk. kebiasaan Internasional
-   Berlaku bagi region tertentu
   -   Tumbuh memalui konvensi (perjanjian internasional)
-   Berlaku bagi negara-negara tertentu yang tidak terbatas pada region


1.2.4.  Hukum Dunia (HD) Dan Hukum Internasional (HI)

1.2.4.(a).  Konsep Pembentukan
HI dan HD, keduanya menunjuk pada konsep mengenai tertib hokum masyarakat dunia, yang berlainan dan bertolak belakang.

1.2.4.(b)  Konsep Pembentukkan dan tertib hokum dari HI
-     Konsep Pembentukkan HI didasarkan pada:
“ adanya suatau masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara-negara yang berdaulta dan merdeka. Dalam arti masing-masing negara berdiri sendiri, hal mana yang satu tidak berada di bawah kekeuasaan yang lain.
-   HI meruapakan suatu tertib hokum Koordinasi antara anggota-anggota yang sederajat.

1.2.4.(c). Konsep HD dan tertib hokum HD
-   Konsep HD:  DUNIA MERUPAKAN SEMACAM NEGARA FEDERASI YANG MELIPUTI NEGARA DI DUNIA INI.
-   Tertib HD   : Hukum Subordinatif (heirarkis), negara dunia berdiri diatas negara nasional.

0 komentar: